Saya akan mengawalinya dengan sebuah disclaimer bahwa tulisan ini tidak untuk mengomentari program makan gratis yang dijanjikan Prabowo. Sebab selain malas, program tersebut kata anak muda jaman sekarang itu cuma berciiaandyaaa. Memang apa yang akan saya bahas nggak jauh-jauh dari aktivitas makan, yakni soal ketahanan pangan.
Beberapa hari lalu sebuah berita mampir di beranda youtube saya. Judulnya agak keterlaluan: Indonesia kiamat beras. Wacana itu mengemuka setelah India mengeluarkan kebijakan menghentikan ekspor beras non basmati atau beras yang biasa kita konsumsi sehari-hari. Keputusan ini diberlakukan setelah negara itu mengalami gagal panen besar besaran, ditambah ancaman el nino sehingga mereka mengantisipasi dengan menyetop pengiriman beras ke negara lain.
Kita tahu, India adalah eksportir beras terbesar dunia. Kebijakan stop beras itu pun membuat sejumlah negara panik, terutama di Amerika dan Kanada. Warga disana membeli beras besar-besaran untuk disimpan karena dihantui krisis. Jangan salah, pada 2022 lalu impor beras Indonesia dari negara tersebut juga mencapai 178 ribu ton.
Dari situasi itulah saya mencoba menggali keseriusan kandidat capres kita, terutama @ganjarpranowo dan Prabowo dalam memandang persoalan tersebut. Bukan tanpa alasan kita membandingkan keduanya, mengingat mereka selalu berkejar-kejaran di papan survei. Jadi rasanya perlu untuk kita tengok sejauh mana gagasan ataupun rekam jejak keduanya dalam urusan kemandirian pangan.
Sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo sebenarnya punya peluang bagus untuk membuktikan kemampuanya. Dia diberi mandat untuk mengelola food estate di Kalimantan Tengah, langkah konkret pemerintah dalam mengantisipasi krisis pangan global sekaligus menciptakan kemandirian di sektor pangan.
Namun rupanya, Prabowo tampak main-main menggunakan kesempatan itu. Sebab kita justru disodori fakta kegagalan yang bertubi-tubi. BBC Indonesia mencatat, perkebunan singkong seluas 600 hektar di Kalteng mangkrak dan 17.000 sawah baru tak kunjung panen. Bahkan yang lebih miris, karena food estate itu, masyarakat Dayak di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas kehilangan mata pencaharian hingga satu persatu mulai meninggalkan kampung halaman.
Proyek food estate atau lumbung pangan di Kalteng dijalankan PT Agrinas, sebuah perusahaan yang 99 persen sahamnya milik yayasan Kementarian Pertahanan. Laporan Tempo menyebutkan, para elit partai Gerindra menduduki posisi strategis di perusahaan itu. Beberapa staf di PT Agrinas juga adalah pegawai di Kementrian Pertahanan. Sementara posisi komisaris diisi para purnawirawan TNI, yang juga anggota tim kampanye Prabowo pada 2019.
Sangat wajar jika kemudian masyarakat bertanya: Jangan-jangan kegagalan itu terjadi karena Prabowo lebih mementingkan bisnis demi keuntungan pribadi dan kroni-kroninya daripada tujuan utama kemakmurkan rakyat? Masa bodoh rakyat, masa bodoh petani, sebab yang terpenting apapun peluang harus dilihat dari kacamata bisnis. Jika caranya seperti ini, sampai matahari terbit dari barat pun kita bakal terus mengandalkan negara lain untuk sekedar urusan pangan.
Sangat kontras jika kita bandingkan dengan Ganjar. Saat jadi gubernur, Ganjar tegas menolak beras impor masuk ke Jateng. Ganjar melihatnya sederhana, kebijakan impor beras membuat harga panen di kalangan petani jatuh.
Sebaliknya, Ganjar terus mendorong produktivitas pertanian padi melimpah hasilnya. Dia bangun seribu lebih embung untuk pertanian. Para petani yang tadinya hanya bisa dua kali panen, sekarang jadi tiga kali. Sekalipun musim kemarau, mereka tetap bisa tanam dan panen dengan hasil yang memuaskan.
Oleh : Septian Raharjo
Tidak ada komentar